Yogyakarta – Serangan jantung dan henti jantung seringkali dianggap sebagai kondisi yang sama, padahal kedua istilah ini memiliki makna yang berbeda. Hal ini disampaikan oleh Profesor Budi Yulistianto dari Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK-KMK UGM. Memahami perbedaannya sangat penting, terutama untuk memberikan pengobatan dan pertolongan pertama yang tepat, mengingat kedua kondisi ini merupakan penyebab utama kematian global.
Profesor Budi menjelaskan bahwa serangan jantung terjadi ketika arteri koroner mengalami sumbatan, mengganggu pasokan darah dan oksigen ke jantung. Kondisi ini bisa disebabkan oleh penumpukan plak atau gumpalan darah. Gejala khasnya meliputi nyeri dada yang tertekan atau menjalar ke bagian tubuh lainnya, disertai sesak napas atau mual.
Di sisi lain, henti jantung atau cardiac arrest disebabkan oleh gangguan pada sistem kelistrikan jantung yang menyebabkan jantung berhenti memompa darah secara mendadak. Gejala awal sering kali meliputi pusing dan lelah berlebihan, diikuti oleh kehilangan kesadaran dan denyut nadi yang tidak terdeteksi.
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 17,9 juta kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah setiap tahunnya, dengan banyak di antaranya berasal dari serangan jantung dan henti jantung. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa sekitar 2,78 juta orang menderita penyakit jantung.
Pertolongan pertama sangat krusial bagi kedua kondisi ini. Resusitasi Jantung Paru (CPR) harus dilakukan segera untuk membantu memompa darah pada saat henti jantung terjadi. Melalui edukasi dan pemahaman yang baik, diharapkan masyarakat bisa mengenali gejala dan memberikan pertolongan yang cepat dan tepat.