Jakarta – Tindakan anggota DPR yang berjoget di ruang sidang menunjukkan tergerusnya empati terhadap kondisi rakyat yang semakin sulit. Di tengah merosotnya daya beli dan meningkatnya pengangguran, masyarakat merasa frustrasi, bahkan sebagian kelas menengah harus menghabiskan tabungan mereka untuk bertahan hidup. Fenomena ini semakin diperburuk oleh keputusan bupati di Pati, Jawa Tengah, yang menaikkan pajak meskipun ada protes besar dari warga.
Baru-baru ini, lebih dari 100.000 orang menuntut bupati mundur, menandakan kemarahan yang mendalam terhadap kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat. Di Jakarta, pada 25 Agustus lalu, ratusan warga berusaha mendatangi gedung DPR untuk menyuarakan aspirasi mereka, tetapi dihalangi oleh aparat keamanan. Kondisi tersebut memicu dialog di media sosial, dengan salah satu warganet mempertanyakan apakah gedung DPR berubah menjadi bengkel.
Situasi ini mencerminkan adanya jarak antara elite politik dan masyarakat, di mana penghasilan anggota DPR yang mencapai Rp230 juta per bulan semakin menambah ketidakpuasan publik. Ironisnya, sambil masyarakat marah, otoritas masih dianggap kurang empatik, terbukti dari respons pimpinan DPR yang hanya memberikan ruang untuk mendengar aspirasi tanpa tindakan konkrit.
Ada kekhawatiran bahwa protes ini bisa menjadi awal dari ketidakpuasan yang lebih besar. Empati, yang berarti dapat merasakan dan memahami kesulitan orang lain, dianggap penting untuk menghindari keputusan yang menyakiti masyarakat. Masyarakat kini mengharapkan para wakil mereka untuk lebih peka dan responsif terhadap suara dan kebutuhan mereka, sebelum suasana semakin memburuk.