Monotoneminimal.com – Perhutanan sosial dianggap sebagai solusi untuk restorasi berkelanjutan yang dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, menurut Direktur Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KPSHK), Moh. Djauhari. Dalam sebuah forum di Jakarta, Djauhari menyatakan bahwa pendekatan ini diharapkan dapat mendukung kegiatan pengelolaan hutan sambil memperkuat kesejahteraan sosial.
Djauhari menyoroti pentingnya regulasi yang konkret untuk merealisasikan amanat Perpres Nomor 110 Tahun 2025, terutama pada Pasal 55 dan Pasal 56 yang mencakup instrumen nilai ekonomi karbon (NEK). Instrumen ini, menurutnya, perlu diterapkan di berbagai sektor, termasuk kehutanan, untuk mendukung target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional.
Perpres 110/2025 menetapkan bahwa NEK dapat dilakukan melalui berbagai mekanisme, seperti perdagangan karbon dan pembayaran berbasis kinerja. Namun, Djauhari mengingatkan bahwa tanpa peraturan operasional yang jelas, masyarakat yang terlibat dalam perhutanan sosial berisiko tidak mendapatkan manfaat ekonomi dari jasa karbon.
Saat ini, luas perhutanan sosial mencapai 8.102.590 hektare dengan 10.957 izin yang telah dikeluarkan. Sebanyak 1.380.170 kepala keluarga telah memperoleh manfaat ekonomi yang diperkirakan mencapai Rp3,44 triliun. Pemerintah memproyeksikan potensi perdagangan karbon di sektor kehutanan dapat mencapai nilai transaksi antara Rp1,6 triliun hingga Rp3,2 triliun pada tahun 2025.
Djauhari juga menekankan perlunya melibatkan pemegang izin perhutanan sosial dalam skema perdagangan karbon dan memastikan bahwa investasi yang masuk menguntungkan masyarakat setempat. Upaya pembinaan dari organisasi non-pemerintah juga tengah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas kelompok pengelola perhutanan sosial. Regulasi yang jelas diharapkan dapat memfasilitasi pengembangan yang berkelanjutan dalam sektor ini.