Monotoneminimal.com – Kenaikan upah minimum menjadi sorotan setelah pernyataan Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman. Menurut Rizal, upah minimum yang dianggap tidak signifikan mencerminkan kegagalan ekonomi dalam menciptakan nilai tambah yang memadai.
Rizal menjelaskan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi tercatat, kualitas pertumbuhan tersebut masih lemah, terfokus pada konsumsi dan komoditas, tanpa adanya perkembangan di sektor produktif yang berteknologi tinggi dan berupah tinggi. Dia menegaskan bahwa kenaikan upah riil akan terhambat jika tidak ada basis produktivitas yang kuat.
Situasi di pasar kerja juga memperparah masalah. Menurut Rizal, ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan lapangan kerja formal menciptakan tekanan pada posisi tawar pekerja. Akibatnya, upah minimum berfungsi hanya sebagai “harga pasar,” dengan kenaikan yang minim dan lebih defensif terhadap inflasi, bukan mencerminkan peningkatan kualitas hidup.
Rizal lebih lanjut menekankan bahwa sektor informal dan berproduktivitas rendah mendominasi pasar kerja Indonesia. Hal ini mengakibatkan keterbatasan dalam memberikan upah yang layak. Dia mengingatkan bahwa tanpa pelaksanaan transformasi struktural menuju industri bernilai tambah tinggi, wacana mengenai penaikan upah akan selalu berkonflik dengan keterbatasan kemampuan usaha.
Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan mengungkapkan formulasi baru penetapan upah minimum, menggunakan indeks tertentu dengan kisaran 0,5 hingga 0,9. Dalam kebijakan terbaru, kenaikan upah minimum provinsi (UMP) hanya mencapai 5%, yang masih di bawah tuntutan buruh untuk kenaikan minimal 6,5%. Rizal menyoroti pentingnya perubahan kebijakan yang lebih berorientasi pada transformasi struktural untuk menjamin kesejahteraan pekerja di masa depan.